Jumat, 29 April 2016

Prolog



Jam istirahat pertama baru saja selesai. Semua siswa 8J dengan segera bergegas kembali ke tempat duduknya masing-masing. Mempersiapkan diri.

Hari ini ada ulangan Matematika. Aku bahkan sama sekali tidak memahami semua bab Matematika di semester Genap ini. Semester kemarin saja aku bahkan mendapat rank 21 dari 32 siswa di kelasku ini. Aku sendiri tidak menyangka kenapa bisa seburuk ini.

“Assalamualaikum”. ucap seseorang yang baru saja masuk ke kelas. Dia adalah guru favorit kami. Pak Wahyudi sang Guru Matematika. Orang yang sangat humoris. “Siapkan kertas…” lanjutnya sambil mempersiapkan tempat duduk.

“Gimana ini Dim?”. Aku sungguh berputus asa ketika mengucapkan kalimat itu ke Dimas, temanku yang dulu masih satu SD denganku. Sungguh aku sangat tidak memahami pelajaran ini. Rumit sekali.

“Santai saja. Apa gunanya remidi?” jawabnya dengan cepat. “Ini kan cuma ulangan harian biasa”
“Tapi setidaknya kau sudah paham dengan bab ini bukan?” protesku. “Aku bahkan… Ah sudahlah”. 

Aku tidak mau lagi berkompromi dengan Dimas ini. Aku tahu dia tipe orang yang acuh tak acuh terhadap keadaan. Sama seperti saat SD dulu. Tiada perubahan sama sekali.

Lembar-lembar soal dibagikan. Kulihat hanya sepuluh butir soal saja. Tapi apa maksutnya ini? Kumpulan huruf dan angka yang tidak kupahami sama sekali. Campuran antara keduanya benar-benar membuat mataku buta. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang tertulis disana

Tiba-tiba ada sesosok tinggi besar dengan muka yang kotor hadir di sebelahku. Entah dari mana asalnya. “Geser” ucapnya tiba-tiba. Dan langsung saja menggeser tempat dudukku dari kiri tanpa sempat aku memberikannya izin. 

“Apa-apaan ini. Apa maksutmu maju ke depan? Ke bangku-ku?” ucapku dengan jengkel.
            Mentor diam saja. Dia merogoh sakunya. Diberikannya sesuatu kepadaku sebuah kertas yang sudah kusut --- mungkin karena sudah lama berada disitu. “Mau tidak?”
 
            Kuambil kertas yang ditawarkannya itu padaku. Samar-samar tertulis sekumpulan angka dan huruf yang --- tetap saja --- tidak bisa kubaca. Urutan jawaban dari nomor satu sampai lima tertulis dengan acak disitu.

            Suasana hatiku berubah dengan seketika. Entah mengapa perasaan ini begitu riang gembira. Aku sungguh penasaran bagaimana Mentor mendapatkan kertas ini dan dari mana. Padahal dia sendiri juga sama sepertiku. Karena dia memang panutanku. Selama aku ada di kelas ini. Kukira.

            “Dapat dari mana” tanyaku untuk menyuarakan rasa penasaran hati ini.

            “Begitulah” jawabnya sambil menoleh ke arah belakang. Ke arah dimana asalnya tadi sebelum berpindah tempat kesini. Memberikanku petunjuk bahwa dia tadi ada disana --- untuk mengumpulkan jawaban dari mereka. 

            Mereka adalah empat anak yang berdiam diri dan bertempat duduk yang terletak sejauh dua barisan bangku dari tempat dudukku. Mereka adalah sekumpulan anak yang duduk memanjang rapi dari kiri ke kanan. Dan sebenarnya aku tidak yakin dengan mereka, antara benar-benar pintar atau hanya sok pintar. Tapi mereka sudah sangat akrab satu sama lain

            Dari sisi yang paling kiri, ada Ezra. Seorang cogan berambut keriting. Pendiam dan sangat cool. Sayang, aku tidak begitu mengenalnya. Dan di sebelahnya, ada Rey. Anak laki-laki yang paling rajin dan cerdas menurutku. Dia dikenal di sekolah ini sebagai anak kembar bersama saudaranya yang berada di kelas lain. Dia juga pendiam, sama seperti Ezra, hanya saja diamnya Rey ini sungguh sangat menghanyutkan.

            Lalu, Iqbal. Tinggi dan misterius, tapi dia juga baik. Satu-satunya hal yang kuketahui darinya adalah bahwa dia sekelas denganku di 7H dulu. Dan yang berada di sisi paling kanan, ada Ayam.
            Duduk di ujung paling kanan dari barisan ini, Ayam sangat berbeda dengan Ezra. Begitu heboh dan sama sekali tak terhentikan. Seakan-akan mereka adalah sebuah barisan yang saling melengkapi. Menjadi satu kesatuan yang utuh.

Terkadang aku berpikir untuk bergabung dengan mereka. Tapi nantinya posisiku dimana dan menjadi bagian apa dari mereka. Lagipula, sifatku yang sudah banyak dipengaruhi oleh Mentor nantinya juga akan susah untuk menyesuaikannya. Setidaknya seperti itu.


“Gradien….Persamaan garis lurus…. Demi Tuhan, soal macam apa ini?” pikirku dengan perasaan gelisah. “Demi soal grafik antah berantah. Ini cara ngerjainnya gimana coba?”.

“Hei ayo ke kantin”. ajak Mentor dengan tiba-tiba dengan suara khasnya.

Suara serak nan kasar itu tadi benar-benar menghancurkan segala sesuatu yang telah kubangun di pikiranku. Konsentrasiku benar-benar terpecah sekarang. Yang satu ingin menyelesaikan ujian yang sebenarnya tinggal beberapa soal lagi. Satunya lagi ingin mengisi perut untuk memuaskan rasa lapar --- yang dari tadi memang sangat mengganggu. Tidak mungkin untuk membawa kertas jawaban ujian ke kantin.

“What the f*ck, kita masih ujian”. jawabku. Entah dari mana tiba-tiba jawaban reaksi penolakan itu datang. Aku benar-benar lupa apa yang kupikirkan tadi. Jadi, hanya itu saja yang dapat aku katakan --- setidaknya untuk saat ini.

“Ya sudah” ujar Mentor kecewa. Ia kemudian mengajak Dimas dan dengan sigap mereka berdua berdiri di hadapan Pak Wahyudi. “Pak, ke kamar mandi”

“Sama saja kelakuanmu” jawab Pak Wahyudi dengan menggelengkan kepala pertanda putus asa. Tidak kuasa untuk tidak mengabulkan permintaan Mentor. “Ya sudah jangan lama-lama”

Kulihat mereka berdua --- terutama Mentor --- dengan santainya melenggang keluar kelas dengan wajah tanpa dosa. Seakan-akan tidak melihat penderitaan kami yang masih mengerjakan soal ulangan. Tapi mereka? Mereka malah melarikan diri dari ini semua. Tidak mau melihat kenyataan. Mereka hanya ingin melepaskan diri dari masalah ini dengan menuju kantin. Dan akupun juga berpikir begitu. Maka ---
“Pak, saya juga”. Aku dengan bergegas menyusul Mentor tanpa menghiraukan Pak Wahyudi mengizinkan atau tidak.

“Jangan lama-lama!” samar-samar terdengar suara Pak Wahyudi dari belakang. Menjawab permintaanku tadi. Yang berarti mengizinkanku untuk makan bersama Mentor dan Dimas.


Aku memesan mie pangsit kesukaanku di kantin Mbak Sas. Kubawa ke meja yang berada di tengah ruang makan kantin. Duduk disana dan menikmatinya.

            “Setengah jam lagi bel istirahat” ucapku memperingatkan.
            “Terus?” jawab Mentor sambil menyeruput kuah soto kesukaannya. Terkesan acuh dengan ujian yang belum terselesaikan.

            Namun bagaimanapun juga. Mentor masih memiliki sisi “anak yang rajin” di dalam dirinya. Dengan segera dia membayar makanan dan kembali menuju ke kelas. 

            Sepanjang perjalanan, aku sama sekali tidak memikirkan bagaimana caranya untuk menyelesaikan ujian. Yang kutahu hanyalah aku harus terus berada di dekat Mentor. Karena terkadang dia memiliki banyak cara yang tak terduga.

            “Wah kenyang itu Pak” teriak Ayam sebagai salam penyambutan kembalinya kami ke kelas. “Mulutnya Mentor masih ngunyah itu Pak!”
            “Fitnah itu Pak!” balas Dimas membela Mentor. Meskipun ia tahu bahwa memang kenyataannya seperti itu.

            Kami pun kembali ke tempat duduk dan kembali mengerjakan ujian. Kulihat Mentor melirik jawabanku.

            “Kurang sedikit” bisikku padanya. “Dimas juga belum sama sekali”
            “Suruh Dimas nyontek Zamroni” jawabnya dengan wajah yang sungguh licik.
            Akhirnya dengan bantuan Zamroni yang malang --- karena dicontek Dimas --- kami bertiga mampu menyelesaikan ujian kali ini. Dan dengan wajah yang heran, Pak Wahyudi menerima kertas ujian dari kami bertiga dengan segan.


            Dua bait nada dari lagu Fur Elise terdengar di seluruh penjuru sekolah. Pertanda bahwa jam istirahat kedua telah dimulai. Waktu masih menunjukkan pukul sebelas dan panas dari matahari masih saja menyengat.

            Karena setelah jam istirahat adalah olahraga, maka sekalian saja untuk mengganti seragam sekolah dengan baju olahraga agar waktunya nanti tidak terbuang sia-sia.

Terik matahari yang begitu panas benar-benar membuatku sangat bermalas-malasan untuk sekedar melakukan pemanasan. Bahkan teman-temanku sebagian besar lebih memilih untuk tiduran di kelas daripada sekedar jogging di lapangan.

            Namun, aku tetap saja pergi ke lapangan dengan sendirian karena aku tahu mereka tidak akan menyusulku selama matahari masih terasa panas.

            Tidak ada siapa-siapa di lapangan. Bahkan perwakilan dari kelasku hanyalah aku seorang. Mungkin memang matahari-lah penyebabnya. Kulihat sekeliling lapangan yang ada hanyalah kelas-kelas milik siswa kelas 7 dengan taman di depannya dan juga beberapa pepohonan yang sejuk. Ciri khas sekolahku.

            “7H” gumamku sambil melihat ke arah kelasku dulu. Tahun lalu.
Aku melamun sambil melihat dari kejauhan sampai beberapa siswa kelas itu kemudian keluar untuk melakukan bersih-bersih.

Tiba-tiba dari kerumunan siswa kelas 7 itu aku melihat sesosok gadis yang sekilas aku seakan pernah mengenalnya sebelumnya. Seakan pernah sering berjumpa --- aku merasa tidak asing dengannya. Namun sebenarnya baru kali aku ini melihatnya. Aneh sekali rasanya!

Aku tidak mengenalnya tapi aku langsung merasa tertarik kepadanya. Dan aku akan mencari tahu mengenai keberadaannya di sekolah ini

Siapa dia?